Memerangi Pembunuh Kaum Perempuan



KOMPAS - Imunisasi adalah salah satu cerita sukses upaya kesehatan masyarakat pada abad ke-20. Mulai dari eradikasi cacar pada tahun 1977 hingga hampir terbasminya polio saat ini. Sejak perluasan program imunisasi tahun 1974, kematian akibat difteri, campak, batuk rejan, dan tetanus menurun tajam.

Apa yang dikemukakan Yang Baoping, Penasihat Perluasan Program Imunisasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Wilayah Pasifik Barat, dalam pembukaan ”The First Symposium on Human Papillomavirus Vaccination” yang berlangsung di Seoul, Korea Selatan, 1-2 Juni lalu, itu merujuk pada paradigma kesehatan masyarakat: mencegah lebih baik daripada mengobati.

Simposium yang dihadiri pakar kesehatan dari negara-negara di Asia Pasifik dan Timur Tengah itu diselenggarakan oleh International Vaccine Institute (IVI) bekerja sama dengan The Program for Appropriate Technology in Health (PATH) dan WHO. IVI, organisasi internasional yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, bergerak di bidang penelitian vaksin untuk kesehatan masyarakat, terutama bagi penduduk negara berkembang.

Belakangan ini makin banyak industri farmasi mendaftarkan sejumlah vaksin yang aman dan efektif. Vaksin-vaksin tersebut antara lain untuk melawan bakteri Streptococcus pneumoniae yang menyebabkan radang paru sampai meningitis, bakteri Haemophilus influenzae type b penyebab penyakit sama, rotavirus penyebab diare, dan yang terbaru adalah human papillomavirus (HPV) penyebab kanker serviks (mulut rahim).

Menurut data WHO, kanker serviks merupakan kanker nomor dua terbanyak pada perempuan berusia 15-45 tahun setelah kanker payudara. Tak kurang dari 500.000 kasus baru dengan kematian 280.000 penderita terjadi tiap tahun di seluruh dunia. Bisa dikatakan, setiap dua menit seorang perempuan meninggal akibat kanker serviks.

Di wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah ada 1,3 miliar perempuan berusia 13 tahun ke atas yang berisiko terkena kanker serviks. WHO memperkirakan, ada lebih dari 265.000 kasus kanker serviks dengan kematian 140.000 penderita tiap tahun di wilayah ini.

Dalam presentasi Dr F Xavier Bosch, Ketua Program Penelitian Epidemi Kanker dari Institut Onkologi Catalonia, Spanyol, berdasarkan data dari WHO/ICO Information Centre on HPV and Cervical Cancer 2002, Indonesia mencatat 15.050 kasus baru dengan kematian 7.566 penderita per tahun.

Sejumlah negara telah memasukkan vaksin HPV dalam program imunisasi nasional, seperti Australia serta sejumlah negara di Eropa. Data 2007 di Australia menunjukkan ada 835 kasus dengan kematian 249 orang. Jumlah kasus itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia karena deteksi dini sudah berjalan sehingga kasus bisa diatasi sejak awal.

Adapun penggunaan vaksin HPV di negara berkembang, menurut Yang Baoping, perlu waktu akibat hambatan dana dan manajemen program. Harga vaksin sebesar 50-100 dollar AS per dosis masih dirasa mahal bagi negara berkembang.

Masalah keterjangkauan vaksin, demikian Hugues Bogaerts, Vice President dan Direktur Medis GSK Biologicals, diatasi dengan penerapan mekanisme harga bertingkat (tier price). Artinya, negara yang mampu membayar lebih mahal, sedangkan negara yang kurang mampu membayar lebih murah. Adapun negara yang benar-benar tidak mampu akan dibantu oleh lembaga internasional, seperti The Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI).

Menurut Prof Dr dr Sri Rezeki S Hadinegoro SpA(K), Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang juga Ketua Indonesian Technical Advisory Group of Immunization serta President of Asia Society of Pediatric Infectious Disease, di Indonesia kanker serviks menjadi penyebab kematian utama di antara kanker pada perempuan. Vaksin ini memang belum masuk program nasional imunisasi, tetapi Satgas Imunisasi IDAI merekomendasikan untuk memberikan vaksin HPV pada remaja perempuan sejak usia 10 tahun. Hal itu dicantumkan pada Jadwal Imunisasi IDAI 2008.

Deputi Menteri Kesehatan Korsel Dr Jong-Koo Lee menyatakan, ada sekitar 4.000 kasus kanker serviks per tahun di Korsel. Diperkirakan negara itu menghabiskan 92 juta dollar AS untuk merawat penderita kanker serviks per tahun.

Rekomendasi

Menurut Prof Kyung Seo dari Department of Obstetrics and Gynecology Yonsei University College of Medicine, Korean Society Gynecologic Oncology & Colposcopy, merekomendasikan pemberian vaksin HPV pada usia 15-17 tahun dan catch up (susulan) pada usia 18-26 tahun. Adapun Korean Pediatric Society merekomendasikan pada 11-12 tahun dan susulan pada 13-18 tahun.

Dr Linda Eckert dari WHO menyatakan, WHO melihat pentingnya kanker serviks dan penyakit terkait HPV lain sebagai masalah kesehatan masyarakat global. Karena itu, WHO merekomendasikan untuk memasukkan vaksin HPV dalam program imunisasi nasional untuk mencegah kanker serviks, menjadikan sebagai prioritas kesehatan masyarakat, membuat penggunaan vaksin terjangkau, menjamin keberlangsungan pembiayaan, dan mempertimbangkan strategi efektivitas pembiayaan imunisasi di negara terkait.

Pada akhir simposium para pakar dan tokoh kesehatan dari pelbagai negara di wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah itu menyerukan agar seluruh negara dan para pemimpinnya, lembaga internasional, dan aktivis kemanusiaan mendukung strategi komprehensif dalam mencegah kanker serviks serta menyediakan biaya untuk menjamin akses vaksin HPV untuk setiap negara di wilayah Asia Pasifik dan Timur Tengah yang berniat menerapkan vaksin bagi penduduknya.

Mereka meminta para tokoh di bidang kesehatan, ilmu pengetahuan, dan tokoh masyarakat untuk memerhatikan beban yang ditimbulkan kanker serviks, berupaya mencegah, serta melakukan penelitian untuk upaya pencegahan.

Para produsen vaksin diharapkan terus mengembangkan vaksin yang efektif dan mempertimbangkan keterjangkauan harga vaksin HPV bagi negara berkembang. Semua pihak diminta bekerja sama untuk memastikan vaksin dan deteksi dini kanker serviks dapat diperoleh dengan harga terjangkau dan berkesinambungan.

Dalam hal ini, keberhasilan mencegah kanker serviks memerlukan komitmen dan kemauan politik. Untuk itu tindakan harus dimulai sekarang juga.

Tidak ada komentar